Quarter Life Crisis (TBL TBL TBL - Tulang Bandeng Lunak)
Memasuki umur 21 tahun, membuat Pedrosa mulai merasakan kekhawatiran akan masa depannya. Ia takut apakah dia berhasil menjadi orang sukses, atau menjadi penjual pop ice. Biarpun menjadi penjual pop ice, tentu ia pun ingin menjadi penjual pop ice yang sukses. Menjadi penjual pop ice yang profesional, yang punya omset milyaran, bukan penjual pop ice yang hanya jualan ketika tetangganya punya khajatan. Tetapi Pedrosa berpikir, tidak ada gunanya mencemaskan masa depan, karena yang berguna itu amal ibadah untuk bekal dimasa mendatang.
Pedrosa pikir dia butuh cerita kepada teman temannya, siapa tahu dengan bercerita bisa sedikit membuatnya lega, dan langsung saja ia mengajak ngopi teman temannya. Setelah semua temannya berkumpul, karena rasa cemas yang berlebihan, Pedrosa pun langsung menceritakan apa yang ia rasakan kepada teman temannya. "kalian pernah ngerasa cemas gitu ngga sih, pas mikirin masa depan kalian. Kalian ngerasa kayak ngga tau mau jadi apa? harus ngelakuin apa? kayak ngga ada tujuan gitu", tanya Pedrosa kepada teman temannya sambil mengusap ingus orang didepannya. Sembari menjilati tangan Pedrosa yang sedang berusaha mengusap ingusnya Stoner pun menjawab, "wajar ngga sih klo seumuran kita ngerasain kayak gitu, itu namanya quarter-life-crisis. Aku juga sering kok ngerasain kayak gitu".
Pedrosa langsung kaget mendengarnya, ia tak menyangka bahwa ternyata teman temannya pun merasakan hal yang sama. Terlebih lagi Pedrosa kaget mendengar kalimat quarter-life -risis, karena ketika mendengar kata quarter, yang terpikirkan olehnya adalah sebuah benda tajam kecil menyerupai pisau yang dapat diatur panjang pendeknya.
Setelah terdiam beberapa milisecond Pedrosa kembali bertanya "gimana cara kalian ngatasin kecemasan itu?". Rosi yang baru saja berhasil menyalip lewat tikungan kiri langsung menyaut obrolan dan menjawab "kalo aku nih ya biasanya ibadah biar hati tenang dan selalu adem gitu. tapi kalo kalian pengen mesin motor kalian selalu adem, mending pake oli yamaluke dijamin deh pasti adem terus kalo ngga dihidupin", jawab serius Rosi sembari mempromosikan oli milik nenek moyangnya.
Setelah mendengarkan perkataan Rosi, Pedrosa pun sejenak berfikir dan tanpa mengucap seutas kata, dia langsung meninggalkan warung kopi itu. Padahal ia belum membayar 5 kopi espresso pesanannya. Sembari mengayuh sepeda ontel milik nenek moyangnya, yang ada dipikiran Pedrosa hanya ingin tiba di masjid secepatnya.
Sesampainya didepan pintu masjid yang dalam keadaan tertutup tanpa mengucap apa - apa ia langsung membuka pintu dan nyelonong masuk. Tak lama kemudian ada sosok bayangan yang menghantam muka Pedrosa. Yang benar saja ternyata dia salah pintu, yang tadi ia buka adalah pintu rumah Mas Jidudin seorang petinju kelas X MIPA 2. Dan bayangan yang menghantan pedrosa tadi rupanya tangan Mas Jidudin yang sedang latihan, lengkap mengenakan sarung tinju dan sabuk kebesarannya. Langsung saja Pedrosa meminta maaf kepada Mas Jidudin dan segera pergi dari rumahnya.
Akhirnya Pedrosa sampai didepan pintu masjid yang benar (benar benar masjid seperti yang kalian pikirkan). Sekarang yang ingin dilakukan Pedrosa hanya beribadah supaya ia segera merasakan ketenangan hati. Setelah mengambil wudhu Pedrosa pun mengambil sarung di lemari yang ada pada pojok masjid tersebut. Tak lama ia mengenakan sarung tersebut, ia merasakan ada yang aneh pada dirinya. Ternyata benar, yang ia kenakan adalah sarung bantal.
TAMAT
Tidak ada komentar: